Seri Diskusi HISP: Teladan Pendidikan dari Tokoh Muhammadiyah

Sabtu, 27 Agustus 2022 07:54 WIB

Sabtu pagi 27 Agustus 2022, gelaran Halaqah Ilmiah Sabtu Pagi (HISP) kali ini sudah memasuki bulan keempat, dengan tema “Teladan Pendidikan dari Tokoh Muhammadiyah” yang dibawakan oleh Bapak Kamaluddin, M.Si sebagai pemateri, dan didampingi oleh bapak Soni Zakaria, S.Sy., M.H. sebagai moderator.

Bertempat di Aula HISP FAI UMM, pemateri membentangkan makalah dengan judul “Dua Guru Cermin Kepribadian Muhammadiyah”. Menurutnya amat sulit menentukan seseorang yang disebut sebagai tokoh Pendidikan Muhammadiyah. Karena di Muhammadiyah sendiri hampir semua tokoh di Muhammadiyah membesar bersama pendidikan mereka.

Selain itu dunia pendidikan yang cukup luas cakupannya tidak mungkin hanya meletakkan nama satu orang saja sebagai tokoh. Ada banyak pertimbangan mengapa seseorang berada pada posisi ketokohan tertentu. Satu pertimbangan yang masuk akal adalah besarnya pengaruh nama itu terhadap pengubahan sejarah.

Sebagaimana dasar pemikiran Michael H. Hart (1982), pengarang buku “100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah”, bahwa pengaruh seseorang akan dilihat dari perubahan arah sejarah dengan asumsi andai ia tidak pernah lahir ke dunia ini. Muhammadiyah diisi oleh banyak nama tokoh yang bisa diletakkan bersama atribut kebesarannya.

Pengaruh dari tokoh itu juga bermacam-macam bergantung pada wilayah dan posisi mana ia berada. Ada yang di tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Lebih mudah bila menentukan tokoh Muhammadiyah melalui keteladanan yang telah dijejakkan.

Sri Sultan Hamengku Buwono X (2007) pernah mengatakan bahwa inti keteladanan adalah jangan menyuruh orang lain sebelum menyuruh diri-sendiri, dan jangan pula melarang orang lain sebelum kita benar-benar tidak melakukan. Dan ia mengikatkan keteladanan dengan sikap kepemimpinan. Mungkin sejalan dengan semboyan Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang kini menjadi adagium pendidikan di Indonesia.

Meski Muhammadiyah tidak benar-benar menganut adagium ini, setidaknya ada arah yang senada dalam memahami keteladanan. Dari banyak tokoh Muhammadiyah pemateri hanya memilih dua orang agar bias mengurangi perdebatan soal ketokohan pendidikan yang berpengaruh tersebut. Pertama adalah sang pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan dan kedua yang mungkin luput dari pengamatan adalah panglima besar Sudirman. Selain soal pengaruh dan keteladanan keduanya, masalah pengajaran bisa dipertimbangkan karena memang mereka berdua juga seorang guru.

Tokoh pertama adalah KH. Ahmad Dahlan. Beliau memulai dengan menyampaikan mengenai biografi sosok pendiri Muhammadiyah kemudian dilanjutkan dengan penjelasan pemikiran Pendidikan. Menurutnya Cita-cita Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah jelas dan tegas, ia hendak mengadakan pembaharuan dengan cara memperbaiki masyarakat Indonesia berdasarkan cita-cita agama Islam.

Usaha-usahanya ditujukan kepada perbaikan kebatinan rakyat dengan cara memperbaiki hidup beragama. Keyakinan beliau adalah untuk membangun masyarakat dan bangsa yang berlandaskan cita-cita agama, Muhammadiyah menekankan kepada perbaikan hidup beragama dengan amal pendidikan dan sosial. Respon yang diberikan kepada masyarakat pada masanya adalah sangat tepat sasaran. Karena pada masa itu terdapat masalah kemunduran dalam bidang Pendidikan.

Di samping itu ilmu agama tidak berkembang karena sumber pengambilannya terbatas dari pesantren-pesantren yang keadaannya sudah mundur dan ketinggalan zaman. Dan sebab timbul sekolah-sekolah cara Barat yang lebih teratur dan lebih mempunyai harapan untuk memperoleh kesempatan kerja. Dari sekolah-sekolah tersebut telah lahir golongan intelegensia yang bersifat negatif terhadap agama, selain intelegensia pesantren berpandangan sempit.

Tokoh Kedua adalah Panglima Besar Sudirman. Tak pernah disangka tokoh seperti Panglima Besar Sudirman merupakan seorang guru. Karena di banyak buku sejarah hampir tidak pernah diceritakan soal keguruan yang berkaitan dengannya. Sudirman lebih dikenal sebagai seorang pemimpin perang fisik di masa-masa kemerdekaan antara 1945 hingga 1950. Apalagi perang yang dipimpinnya tergolong perang dengan bergerilya sehingga tidak berkaitan langsung dengan dunia sekolah atau pendidikan.

Sudirman adalah sosok guru yang berada di persimpangan jalan kondisi bangsa yang luar biasa rentan. Saat ia sedang menikmati menjadi seorang guru, di sisi lain ada tuntutan kepada para pemuda untuk angkat senjata membela negara. Kondisi bangsa sedang terancam oleh hasrat kembalinya Belanda menguasai Indonesia, setelah Jepang kalah oleh sekutu. Sudirman harus memilih antara pilihan yang muskil. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan untuk membela negara karena itu yang dianggapnya sebagai kewajiban.

Seperti tersirat dalam ucapannya;

“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya...negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja...perlu sekali mengadakan kerjasama serat- eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar tentara...inilah yang merupakan kekuatan suatu tentara...tentara adalah alat negara, tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara”.

Shared: